c Memberikan hak paten terhadap setiap kebudayaan yang milik bangsa indonesia, seperti lagu daerah, tarian,alat musik. d. Memperkenalkan dan mempromosikan tempat - tempat wisata di Indonesia. e. Membuat pameran - pameran produk Indonesia 2. Peran Masyarakat a.Melestarikan dan mengembangkan budaya bangsa Indonesia b.Mencintai produk Indonesia
Denganberbagai manfaat wayang dalam berbagai aspek kehidupan di atas, maka kesenian wayang harus terus dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi penerus bangsa. Wayang adalah warisan budaya miliki bangsa Indonesia yang menjadi salah satu identitas budaya bangsa, yang keberadaannya harus terus ada di samping gempuran teknologi canggih.
5Fakta Wayang Kulit, Warisan Mahakarya Indonesia yang Mendunia Wayang adalah warisan budaya bangsa Indonesia yang Wayang Kulit, Seni Berkelas Yang Harus Dilestarikan - Suara Media PDF) UPAYA MENCEGAH HILANGNYA WAYANG KULIT SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA WARISAN BUDAYA BANGSA Membentuk Karakter Bangsa Lewat Cerita Wayang - Unair News
Warisanbudaya indonesia perlu dilestarikan dan harus dilakukan tindakan untuk menjaga serta merawat warisan yang sagat luar biasa yang telah diberikan karena merupakan peninggalan yang sangat berharga. Warisan budaya indonesia yang pertama yaitu Wayang dan diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya bangsa Indonesia pada tahun 2003.
Nah salah satu warisan budaya Indonesia yang hingga hari ini tetap dilestarikan adalah Tari Saman Gayo yang berasal dari suku Gayo di Aceh. Keunikan tari Gayo adalah kekompakan dari gerakan penarinya dan suara beserta lagu yang mengiringinya. Diantara salah satu makna Wayang adalah kata yang bersumber dari kalimat 'Ma Hyang' dengan
surat at taubah ayat 128 129 latin dan artinya. WAYANG kulit merupakan salah satu aset budaya bangsa. Karena itu, seni tradisional warisan leluhur ini perlu dikembangkan dan dilestarikan. "Wayang kulit menjadi hiburan tradisional yang hingga saat ini masih sangat digemari warga masyarakat khususnya di Jawa Tengah," ungkap Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Mulyani, pada pergelaran wayang kulit semalam untuk di Balai Desa Nglinggi, Klaten Selatan, Senin 15/8 malam. Pentas wayang kulit oleh dalang Ki Mulyono PW dengan lakon Begawan Sabdowolo itu dielar dalam rangka HUT ke-77 RI dan Hari Jadi ke-218 Kota Klaten. "Kita patut bersyukur wayang kulit tetap eksis sampai sekarang. Karena itu, kewajiban kita bersama untuk terus mengembangkan dan melestarikannya," tambahnya. Untuk itu, Bupati berharap seni tradisional wayang kulit tidak terkikis budaya asing di era globalisasi. Maka, upaya nguri-uri budaya jawi ini sangat penting. Sri Mulyani mengajak kepada semua pihak, khususnya generasi muda untuk menjunjung tinggi seni budaya tradisional warisan leluhur tersebut. "Pergelaran wayang kulit itu penuh dengan muatan atau nilai tontonan, tuntunan, dan tatanan hidup dalam masyarakat." Pentas wayang kulit di Balai Desa Nglinggi juga dihadiri anggota DPRD Jateng Anton Lami Suhadi, Pj Sekda J Prihono, Forkopimda, dan ribuan penonton. Penonton pergelaran wayang kulit malam itu terhibur, terlebih dengan dihadirkannya Duo Sinden Apri-Mimin dan Sinden Ngetren Elisha Orcharus. Menurut Kades Nglinggi, Sugeng Mulyadi, pentas wayang kulit itu untuk hiburan masyarakat. Karena, sudah dua tahun di masa pandemi tidak ada pertujunkan wayang kulit. "Dalam pentas wayang kulit malam ini kami juga menyiapkan hadiah, seperti sepeda, kulkas, mesin cuci, kipas angin, dan hadiah menarik lainnya," ujarnya. N-2
- Kesenian wayang merupakan salah satu peninggalan budaya Indonesia yang harus terus dilestarikan. Sejak 7 November 2003, kesenian wayang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Nah, karena itu, setiap tanggal 7 November ini diperingati sebagai Hari Wayang Nasional. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk melestarikan wayang, terutama di kalangan generasi muda. Mungkin saat ini kita mengenal bahwa wayang berasal dari Jawa. Akan tetapi sebenarnya ada juga wayang dari daerah lain, misalnya wayang Betawi, wayang Bali, wayang sunda, dan masih banyak lainnya. Sebagai budaya asli bangsa Indonesia, melestarikan wayang merupakan hal penting yang harus dilakukan. Berikut beberapa cara melestarikan wayang. Cara Melestarikan Wayang 1. Menyaksikan Pertunjukan Wayang Cara sederhana yang bisa dilakukan untuk melestarikan wayang ialah dengan menyaksikan pertunjukan wayang. Pertunjukan wayang bisa terus berlangsung jika ada masyarakat yang masih terlibat dalam pelaksanaannya. Baca Juga 5 Tokoh Perempuan dalam Kisah Pewayangan Mahabharata
Wayang yang menjadi salah satu warisan budaya berharga di Indonesia ini pasti telah kalian sering lihat di pentas-pentas kesenian atau di media informasi. Bagaimana munculnya warisan ini? Nah silahkan simak ya artikel ini sobat MI… Wayang ada yang berpendapat berasal dari kebudayaan Jawa namun ada juga yang berpendapat dari India, akan tetapi untuk bukti benarnya masih belum bisa dipastikan. Pendapat yang mengatakan bahwa wayang lahir di pulau Jawa ini, tidak hanya dikemukakan oleh para ahli dan peneliti bangsa Indonesia, akan tetapi juga dikemukakan oleh para ahli dari Barat diantaranya yaitu Hazeau, Kats, Rentse, Brandes dan Kruyt. Untuk pendapat yang mengatakan dari India, diduga wayang ini dibawa pada saat penyebaran agama hindu ke Indonesia. Yaps… untuk lebih tepatnya wayang ini berasal, masih belum ada yang memutuskan titik terangnya. Arti kata wayang tersendiri juga terdapat perbedaan terkait penjelasan kata wayang tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kata wayang berasal dari kata “Ma Hyang” yang artinya dewa, roh atau juga berarti Tuhan. Pendapat yang kedua berasal dari bahasa Jawa yang artinya bayangan. Dikarenakan dalam kesenian pertunjukan wayang kulit sendiri hanya bisa melihat bayangan dari bentuk wayang kulit yang dimainkan. Di tanah Jawa, terdapat dua jenis wayang sebagai sebuah kultur kehidupan di masyarakat. Kedua jenis wayang tersebut merupakan simbol dari karakter manusia di sebuah peradaban. Wayang Kulit berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, sedangkan Wayang Golek berasal dari Jawa Barat. Wayang Kulit merupakan boneka dua dimensi, yang terbuat dari kulit atau tulang. Sementara Wayang Golek yaitu boneka-boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu. Menikmati kedua wayang tersebut memiliki kekhasannya tersendiri, tergantung dari cara menikmatinya. Biasanya masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah menikmati pertunjukan wayang kulit sampai pada aspek filosofinya. Sedangkan masyarakat Jawa Barat pertunjukan Wayang Golek hanya menunggu momen tawa.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Saya awali tulisan ini dengan peribahasa yang barang tentu tidak asing lagi di telinga kita, menjadi kata-kata yang selalu diulang-ulang ketika seorang guru sejarah mendidik murid-muridnya, kurang lebih seperti ini pepatahnya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Saya pribadi mengakui jika memang benar harus seperti itu, saya sepakat karena tidak mungkin suatu bangsa dapat menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar, yang disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia tanpa ia mengenali, memahami, bahkan mengambil pelajaran dari sejarah bangsanya sendiri. Dewasa ini mari kita tegaskan jika di zaman sekarang bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melanjutkan kejayaan bangsanya seperti apa yang dicita-citakan para pendahulunya, bukan hanya sekedar menghargai tapi melakukan aksi nyata. Bung Karno pun sang proklamator kemerdekaan republik ini pernah berkata jika bangsa Indonesia jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah atau biasa kita kenal dengan istilah jasmerah. Pembelajaran sejarah sendiri sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar secara tematik, kemudian secara terpadu menjadi ilmu pengetahuan sosial di sekolah menengah pertama, dan menjadi mata pelajaran khusus di sekolah menengah atas. Pelajaran sejarah dari zaman ke zaman mengalami tantangan yang saya anggap semakin berat. Image sejarah yang membosankan, ngantuk, gagal move on dan hal-hal negatif lainnya menjadi stigma yang melekat di sebagian besar siswa kita. Oleh karena itu dibutuhkan pengemasan pembelajaran sejarah yang menyenangkan, dekat dengan siswa, dan tentunya membuat siswa tergugah untuk peduli akan sejarahnya. Pembelajaran sejarah sendiri tentunya bisa kita lakukan tidak hanya di dalam kelas saja, karena kalau kita hanya terpaku di dalam kelas tentunya siswa akan merasa jika sejarah hanya berbicara tetang ceramah, tentang buku-buku tebal, dan tentang peristiwa yang sudah pasti tidak pernah mereka ketahui bahkan mereka alami. Sehingga model pembelajaran di luar kelas bisa digunakan sebagai solusi dari problema yang mengemuka tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Sudjana dan Rivai 2013, hlm. 208 jika guru dan siswa bisa mempelajari keadaan sebenarnya di luar kelas dengan menghadapkan para siswa kepada lingkungan aktual untuk dipelajari, diamati dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar, maka pembelajaran akan lebih mudah dipahami. Pembelajaran sejarah di luar kelas akan lebih konkret apabila siswa diajak untuk melakukan site tours ke situs-situs bersejarah di daerahnya. Berkunjung ke tempat bersejarah atau melihat langsung benda-benda tinggalan purbakala yang disebut cagar budaya. Dalam UU No. 11 Tahun 2010 disebutkan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan yang melalui proses penetapan nasional sedikitnya ada 13 warisan milik Indonesia yang telah dicatat UNESCO menjadi Warisan Dunia The World Heritage. Ke-13 warisan itu dikelompokkan dalam tiga kategori berbeda, yaitu warisan alam, cagar alam atau situs, dan karya tak benda. 1 2 3 4 5 Lihat Sosbud Selengkapnya
Sebagaimana masyarakat lain di planet Bumi ini, masyarakat Indonesia yang terdiri atas ratusan suku dan etnis ini juga memiliki tradisi dan kebudayaan yang khas dan unik, baik yang murni dibentuk oleh faktor-faktor lokal, global atau internasional, maupun gabungan lokal dan global yang oleh sosiolog Roland Robertson disebut “glokal” atau “glocalization”. Meskipun Indonesia memiliki tradisi dan kebudayaan yang sangat kaya, tetapi bukan berarti bahwa tradisi dan kebudayaan itu bisa eksis selamanya. Jika tradisi dan kebudayaan warisan leluhur itu tidak dirawat, dijaga, dan dilestarikan dengan seksama, maka bukan hal yang mustahil jika kelak tradisi dan budaya itu tinggal kenangan saja. Bukan hanya kelak, sekarang pun bahkan sudah terjadi. Sejumlah tradisi dan kebudayaan warisan leluhur bangsa “lenyap dari peredaran” karena sejumlah faktor. Misalnya, generasi muda Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur mana sekarang yang mengenal sistem tulisan carakan atau “ho no co ro ko” yang dulu diajarkan di sekolah dan dipraktikkan di masyarakat? Hampir dipastikan warisan budaya ini segera musnah karena tidak lagi dipraktikkan di masyarakat. Siapa kini yang peduli untuk menjaga, merawat, melestarikan, memperjuangkan, atau bahkan mengembangkan warisan tradisi dan khazanah kultural, intelektual, dan spirititual serta nilai-nilai luhur leluhur nusantara kita? Siapa yang peduli memperkenalkan kekayaan khazanah kebudayaan nusantara ke masyarakat luas, lebih-lebih dunia internasional atau mancanegara? Pertanyaan ini gampang tapi tak mudah untuk menjawabnya. Budaya yang Baik dan yang Buruk Tentu saja tidak semua praktik tradisi dan kebudayaan masyarakat suku-etnis di Indonesia perlu dilestarikan. Tradisi dan budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan tentu saja tidak perlu dilestarikan. Misalnya, tradisi potong jari jika ada anggota keluarga yang meninggal di sebuah masyarakat suku di Papua atau tradisi membunuh sebagai bentuk kehormatan untuk membela martabat keluarga atau kelompok klan dan suku yang dalam antropologi budaya disebut “honor killing”. Tetapi tradisi dan kebudayaan yang dianggap baik secara universal dan bermanfaat bagi publik luas sangat perlu untuk dijaga, dirawat, dilestarikan, dipertahankan, diperjuangkan, dan bahkan disebarluaskan. Penegasan ini penting apalagi dewasa ini, alih-alih merawat dan mengembangkan tradisi dan kebudayaan nusantara, banyak pihak yang justru cuek dan mengabaikannya. Bukan hanya itu saja, ada bahkan kelompok sosial-keagamaan, baik dalam Islam maupun Kristen, yang malah mendiskreditkan, melecehkan, mengharamkan, dan mengtabukan tradisi asli dan budaya lokal nusantara dengan alasan bertentangan dengan syariat/akidah Islam dan Kristen. Penulis Sumanto al QurtubyFoto DW/A. Purwaningsih Dua Kelompok Kontrabudaya Nusantara Setidaknya ada dua kelompok kontra nusantara yang jika tidak diantisipasi dengan baik bisa berpotensi menghilangkan tradisi dan kebudayaan nusantara di masa mendatang. Kedua kelompok ini ada di dalam struktur pemerintah maupun di luar pemerintah state and society. Kelompok pertama adalah kelompok modernis yang tergila-gila dengan modernitas kemodernan atau kekinian dan kemajuan. Karena terlalu terobsesi dengan kemajuan dan gemerlap dunia modern, mereka mengabaikan hal-ihwal yang berbau lokal karena dianggap tradisional, kuno, kolot, old-fashion, tidak fashionable, atau bahkan “ndeso” dan “kampungan”. Biasanya kelompok ini tergila-gila dengan masyarakat yang mereka bayangkkan atau imajinasikan sebagai “masyarakat maju” dalam hal pendidikan, pengetahuan, sains dan teknologi, perabadan, dan seterusnya. Karena Barat khususnya Amerika Serikat atau Eropa Barat kebetulan saat ini yang dipersepsikan sebagai simbol kemodernan dan kemajuan itu, maka banyak masyarakat Indonesia dewasa ini, tua-muda, laki-perempuan, yang berbondong-bondong meniru “gaya Barat”, baik dalam hal tata-busana, bahasa percakapan maupun pergaulan sehari-hari. Dulu, pada zaman kolonial Belanda, sekelompok elite “pribumi” juga tergila-gila dengan “kompeni” yang karena dianggap sebagai representasi dari kemodernan dan kemajuan tadi. Kedua adalah kelompok agamis, khususnya “kelompok Islamis” dan juga “kelompok syar’i” tetapi juga sejumlah kelompok Kristen puritan-reformis yang juga kontra terhadap tradisi dan budaya lokal nusantara. Harap dibedakan antara “kelompok agama” dan “kelompok agamis”, antara “kelompok Islam” dan “kelompok Islamis” silakan baca karya Bassam Tibi, Islamism and Islam. Yang dimaksud dengan “kelompok agamis” disini baik muslim maupun nonmuslim adalah kelompok fanatikus agama atau kaum reformis-puritan yang mengidealkan kemurnian dan kesempurnaan praktik doktrin dan ajaran agama yang bersih dan murni dari unsur-unsur lokal. Bagi kelompok agamis ini, mempraktikkan elemen-elemen tradisi dan budaya lokal dianggap sebagai perbuatan syirik atau tindakan bid’ah atau bidat yang bisa mengganggu dan menodai otentisitas, kesucian, dan kemurnian doktrin dan ajaran agama mereka. Oleh mereka, aneka adat, tradisi, dan budaya lokal itu dianggap tidak relijius tidak Islami, tidak kristiani dan seterusnya, dan karena itu harus dijauhi dan ditolak karena bertentangan dengan Kitab Suci, teologi atau aqidah, praktik kenabian, serta doktrin dan ajaran normatif agama mereka. Bukan hanya itu saja. Atas nama pemurnian ajaran agama, mereka juga menyerang berbagai aset kultural, nilai-nilai luhur leluhur, dan khazanah keilmuan nenek moyang nusantara karena dianggap bid’ah atau bidat tidak dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan generasi awal Islam atau oleh Yesus dan rasul mula-mula dituduh tidak agamis, dicap tidak syar’i, atau dipandang tidak sesuai dengan ajaran normatif keagamaan tertentu, seraya memperkenalkan dan dalam banyak hal memaksakan doktrin, wacana, gagasan, pandangan, dan ideologi keagamaan eksklusif-puritan dan aneka ragam budaya luar kepada masyarakat Indonesia. Jika “kelompok modernis” di atas mengabaikan tradisi dan budaya lokal lebih karena alasan-alasan yang bersifat profan-sekuler-duniawi, maka “kelompok agamis” menolak adat, tradisi, dan kebudayaan lokal karena alasan teologi-keagamaan yang bersifat sakral-relijius-ukhrawi. Berbeda dengan “kelompok modernis”, “kelompok agamis” ini sangat agresif dalam menyerang hal-ihwal yang berbau lokal. Mereka bukan hanya sekedar mengabaikan dan tak mempraktikkan tradisi dan budaya lokal tetapi juga mengadvokasi untuk memusnahkannya. Meskipun “kelompok modernis”, atau tepatnya sejumlah faksi militan kelompok modernis, dalam batas tertentu, juga menyerang tradisi dan budaya lokal nusantara tetapi mereka tidak seekstrim seperti yang dilakukan oleh “kelompok agama” yang mengampanyekan atau bahkan mempropagandakan penghancuran tradisi, budaya dan nilai-nilai luhur leluhur nusantara. Tanggung Jawa Bersama Untuk melestarikan tradisi dan kebudayaan bangsa Indonesia, maka perlu upaya dan keseriusan semua pihak, baik negara maupun masyarakat, baik pemerintah maupun rakyat. Karena ini merupakan tanggung jawa bersama. Kerja sama intensif negara-masyarakat state-society cooperation ini menjadi kunci bagi kelestarian tradisi dan kebudayaan luhur warisan leluhur bangsa Indonesia agar tak punah di kemudian hari akibat kelengahan kita. Semoga bermanfaat. Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, Ia memperoleh gelar doktor PhD dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia London Routledge, 2016 dan Saudi Arabia and Indonesian Networks Migration, Education and Islam London & New York Tauris & Bloomsbury. *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. *Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini.
wayang adalah warisan budaya bangsa indonesia yang perlu dilestarikan